IKHLAS (Easy to Say, Hard to Do)

Hari ini saya mengalami kejadian yang menguji kesabaran sekaligus keberanian saya.

Seperti biasanya setiap hari Jum'at saya berangkat dari rumah menggunakan kereta Depok Ekspress dari stasiun Rawabuntu. Saya memang berangkat 5 menit lebih lama dari biasanya menuju stasiun, karena toh selama ini saya selalu menunggu lebih dari 15 menit di stasiun sampai kereta tersebut datang.  Nah, karena hari ini adalah UTS saya yang terakhir (maksudnya mata kuliah terakhir yang di UTS kan) maka 5 menit di rumah itu saya gunakan untuk membaca-baca bahan kuliah.

Sesampainya di loket karcis stasiun, seperti biasanya saya selalu memesan tiket langsung tujuan Depok seharga 14 ribu. Mungkin karena saat itu saya terburu atau bagaimana, saya lupa memeriksa kembali tanggal yang tertera di tiket, secara pikir saya ini adalah kereta kesekian yang lewat di stasiun Rawabuntu, maka pastilah tanggal pun sudah di-set sebagaimana mestinya. Dan tiket itu pun langsunglah masuk ke dalam kantong rok saya.

Saat saya sudah berada dalam kereta, petugas yang memeriksa karcis pun menanyakan tiket saya. Saya berikan itu dan langsung dipunch  dengan alat pembolong kertas khas petugas kereta.  Biasanya, karcis akan diperiksa sesaat setelah menaiki kereta dan setelah kereta melewati Cawang.  Untuk pemeriksaan yang kedua ini dilakukan oleh masinis untuk memeriksa apakan benar tiket tersebut menuju Depok (bukan lagi Sudirman ataupun Manggarai).

Nah... ujian itu pun dimulailah ketika masinis itu mendatangi saya dan menanyakan karcis yang saya punya.  Saya pun memberikan tiket yang saya miliki.  Sang masinis memeriksa kemudian terjadilah percakapan pertengkaran alot: 
" Mbak ini, karcisnya kok tanggal 8 April?"
dengan wajah kaget saya memeriksa kembali tanggal yang tertera di karcis saya, dan ternyata memang benar di karcis tersebut tertanggal 8 April.
"Ya saya nggak tau Pak, tadi saya beli dikasihnya begitu"
"Tapi sekarang kan tanggal 9 April Mbak"
saya menangkap si Bapak ini menuduh saya memakai karcis kemarin
"Demi ALLOH Pak, tadi saya beli di stasiun Rawabuntu dan dikasihnya begitu"
"Kenapa nggak dicek tanggalnya?"
"Tadi saya buru-buru... lagian buat apa saya nge-cek lagi? Harusnya itu kan kewajibannya petugas loket!!!"
"Yaudah, Mbak mesti bayar lagi buat karcis suplisi. Sepuluh Ribu!"
"Eh, Pak... Saya mesti ngomong gimana lagi... Tadi saya udah bayar 14ribu dari stasiun Rawabuntu. Masa sekarang disuruh bayar lagi?"
"Daripada nanti di stasiun tujuan Mbak ditahan karena karcisnya nggak sesuai tanggal"
"Loh, kenapa tadi mas-mas yang periksa karcis sya nggak komplain? Adil dong Pak, yang naik dari Rawabuntu nggak cuma saya aja. Kenapa Bapak nggak periksa juga penumpang yang naik dari Rawabuntu?"
"Ya Mbak kalo mau komplain jangan sama saya, tapi sama petugas stasiunnya dong!"
Eeeeerrrrrgggghhhh......!!!!
"Saya sekarang mau kuliah Pak!Gimana caranya saya komplain?"
(Lagian kalo saya komplain, apa Bapak itu akan melepaskan saya dari bualannya untuk bayar karcis suplisi itu?)
"Ya nanti kalo udah pulang Mbak komplain"
Duh, bener-bener nggak punya otak nih masinis! Apakah karena posisi saya sebagai perempuan lalu bisa ditindas begitu saja? Bilang aja Bapak mau dapet uang tambahan, mau bilang gitu aja pake berkelit (Astaghfirulloh... kekasaran dan ke-su'udzhonan saya menguasai).

"Tapi sekarang Bapak maunya saya bayar kan?"
"Ya sekarang kalo saya loloskan, saya nggak jamin Mbak bisa selamat di peron stasiun"
"Oh ya?! Selama ini petugas peronnya biasa-biasa aja tuh. Nggak pernah periksa tanggal"
" Ya Terserah Mbak...."


Ya ALLOH.... Saya hanya ingin mempertahankan hak saya dan memperjuangkan kebenaran dari kesalahan yang bukan berasal dari perbuatan saya.  Saya baru sadar, percakapan yang lebih saya kategorikan sebagai pertengkaran itu telah menaikkan tekanan darah saya, menggetarkan suara saya, dan menggumpalkan airmata yang saya rasakan kian mendesak keluar. Ya ALLOH... kuatkan saya.

Saya mulai berpikir dengan logika dan bukan dengan emosi saya. Bapak ini akan sulit untuk "mengerti" dan sepertinya akan kekeuh untuk menyuruh saya membayar karcis suplisi.  Kalau seperti ini terus, mana mungkin mencapai titik temu??? Biarlah saya mengalah... toh bukan berarti saya yang kalah. Jelas, ini bukan salah saya. Dan sebetulnya pun Bapak Masinis tidak salah, hanya mungkin perasaannya terlalu membatu untuk memahami. Saya tidak ingin mencari-cari siapa yang salah dalam kondisi ini. Yeah ini mungkin hanya kesalahpahaman.

" Oke saya bayar. Terserah Bapak deh!!! Dan uang saya hanya tinggal segini"
Saya serahkan uang dengan nominal 20 ribu.  Memang benar, budget ongkos saya hari ini hanya tinggal segitu-segitunya. Bapak itu pun memberi karcis suplisi saya dan ngeloyor pergi. Entah, mungkin dia malu atau muak berhadapan dengan saya. Tapi saya tetap menagih hak yang masih menjadi milik saya.

" Pak kembaliannya dong! Ini karcis suplisi kan 10ribu. Uang saya 20 ribu!!!"
 Dan Bapak itu memberikan kembalian sebesar 10 ribu, yang kemudian saya ambil dengan kasar.

Sepeninggal Bapak itu, airmata saya tidak dapat terbendung. Rasanya dada saya sesak namun saya heran, kok bisa ya saya berani membentak begitu? Biasanya saya selalu nrimo dan memandang suatu masalah dapat diselesaikan dengan kata " Ya udah lah yaaa...". Beres.

Tapi kali ini lain.  Hari ini saya belajar mempertahankan apa yang menjadi hak saya dan menyuarakan kebenaran dari kesalahan yang bukan milik saya. Ya, memang seharusnya begitu.  Tidak mungkin selamanya saya hanya akan menjadi orang yang diam dan menerima, sudah saatnya saya menjadi apa yang saya inginkan, tegas (dan GALAK).  Nantinya bukan hanya soal karcis kereta atau apa, mungkin ini hanya masalah yang kecil. Bagaimana nantinya jika suatu saat saya dan orang-orang yang saya sayangi dizholimi dalam kasus yang jauh lebih besar, tidak mungkin saya diam dan menerima saja kan? Kali ini saya belajar, bahwa tidak selamanya diam itu emas....

Dan bersama luruhan airmata saya, saya pun berdoa " ya ALLOH... mudahkan UTS saya hari ini. Mudahkan ya ALLOH...".  Karena yang saya pelajari dari mata pelajaran Agama adalah, doa orang yang terdzolimi itu diijabah oleh ALLOH. Amiin....

Uang saya lenyap 10 ribu.... Ya ALLOH, saya harus pulang hanya dengan bekal uang 10 ribu.... Yah, semoga nominal yang tidak ada apa-apanya itu memang sampai pada tangan yang berhak dan bukannya untuk kepentingan pribadi orang-orang tertentu (Misalnya beli rokok, mungkin? Seperti yang saya lihat dengan pandangan sinis saya pada Sang Bapak Masinis ketika saya tiba di peron Stasiun UI).

Sesampainya saya di Bis Kuning (Bus Kampus), dada saya masih sesak mengingat kejadian tadi. Hati saya selalu mensugesti "Ikhlas Neng... Ikhlas... ". Sampai saya harus menghirup udara yang dalam lalu menghelanya perlahan, berkali-kali... IKHLAS, ITS EASY TO SAY BUT REALLY HARD TO DO. (Pantes deh, bisa ngerti saya keadaannya kalo ada orang yang belum bisa ikhlas melepas masa lalunya)

Maka, pelajaran hari ini yang saya dapatkan adalah:
  1. Periksa kembali karcis kamu, apakah tanggal, harga, dan tujuannya sesuai dengan kereta yang ingin kamu naiki.
  2. Pertahankan apa yang menjadi hak kamu, dan suarakan kebenaran dengan lantang (karena tidak setiap diam itu adalah emas).
  3. Bila poin ke-2 sudah kamu lakukan, jangan teruskan perdebatan, jika sepertinya perdebatan itu tidak akan ada titik temu, daripada waktu dan energi kamu terbuang percuma hanya untuk sebuah "debat kusir" (mending ngalah aja dahhh... bukan berarti ngalah itu kalah lho).
  4. Berdoalah ketika kamu merasa terdzolimi, sesungguhnya ALLOH meng-ijabah doa orang-orang terdzolimi.
  5. Berpikir jernih dengan logika diperlukan untuk menyelesaikan masalah, meskipun berada dalam puncak emosi.
  6. Sabar dan Ikhlas.  Kunci ketika kamu ingin semua masalah terasa lebih indah (termasuk mengambil hikmah dari setiap kejadian yang dialami)
  7. ...... (monggo ditambahkan sendiri).

8 Apr 2010

Posting Komentar

My Friends

Blogger news

Diberdayakan oleh Blogger.