It's been a thousand years after I wrote the last post on this blog.
Emang kapan terakir kali nulis di blog?
Hmm kira-kira Desember 2012
Postingan yang mana?
Sekarang udah engga ada. Udah dihapus.
Kenapa kok dihapus?
Soalnya kebanyakan postingan yang lalu-lalu berisi puisi-puisi galau dan curahan hati yang "kurang penting" untuk dipublikasikan. Hehehe... Jadi sekarang inginnya menulis sesuatu yang mungkin bisa bermanfaat untuk orang lain.
Baiklah... postingan yang pertama di tahun 2014 ini, saya ingin berbagi pengalaman pertama saya backpacking ke Pulau Pedas.
Pulau Pedas itu dimana yaa?
Ide untuk melakukan perjalanan kesana sebenarnya adalah ide dari seorang rekan di kantor. Kebetulan, kantor saya akan mengadakan acara di Bali. Acara sebenarnya selesai hari Kamis, nah kami boleh extend sampai hari Ahad dengan syarat akomodasi hanya ditanggung kantor sampai hari Jumat saja. Beberapa teman mengajak serta keluarganya ikut ke Bali. Nah, saya yang (takdirnya) masih single (#ehh #kode) merasa terpinggirkan. Hehehe, nggak deng... Saya mikir, ah males juga kalo hari Jumat langsung balik ke Manokwari, mending habiskan saja jatah liburannya sampai Ahad. Kawan saya memberi suggest "kenapa nggak sekalian nyebrang aja ke Lombok?"
Brilliant!
Habis itu, langsung saya cari tiket promo Denpasar-Lombok dan googling pengalaman para backpacker ke Lombok. Kebanyakan mereka sharing perjalanan ke Lombok via darat (Ketapang-Gilimanuk-Padang Bai-Lembar). Waaah... saya pun akhirnya tergoda untuk mencoba merasakan traveling dengan kapal ferry. Akhirnya, setelah menimbang-nimbang baik buruknya, dengan mengucap Bismillahirrohmanirrohim, kami (saya dan mbak Anis) memutuskan untuk extend 3 hari di Lombok. Cihuy!
Sebelum bepergian, sebagai anak perempuan kesayangan di perantauan yang jauh dari orang tua (kesiaaaan....), saya meminta izin dan restu dari ayahanda dan ibunda untuk pergi ke Lombok setelah menyelesaikan acara kantor di Bali.
"Aduuuh.... kamu perginya jauh banget ke Lombok (padahal Manokwari kan jelas lebih jauh dari Lombok :p). Nanti kalo kamu disana kesasar gimana?"
"Tenang aja, Bu... Udah banyak referensi nih dari internet" (padahal sih ketar ketir juga, takut kesasar)
"Kamu pergi-pergi gitu nggak ada mahromnya lho, nak"
(Jleb) "Iya Bu, makanya mohon doanya supaya segera ada yang nemenin kalo traveling" *sungkem sama Ibu :D
Kuta, di suatu subuh di bulan Maret akhirnya kami check out dari hotel. Hanya beberapa orang rekan kantor saja yang tahu tentang rencana saya dan mbak Anis melanjutkan perjalanan ke Lombok ini. Perjalanan dari hotel menuju Pelabuhan penyebrangan Padang Bai di Karangasem, Bali ditempuh sekitar 1 jam dari Denpasar dengan taksi. Sengaja kami berangkat subuh hari karena untuk menghindari macet dan inginnya sampai di Lombok lebih awal.
Tiket dengan kapal ferry dari Padang Bai, Bali menuju Lembar, Lombok seharga 40.000 rupiah ditempuh kurang lebih selama 4 jam. Kapal ferry-nya cukup nyaman dan terkesan mewah untuk ukuran tiket seharga tersebut. Fasilitas yang disediakan cukup lengkap, ada ruang tunggu VIP (namanya saja VIP, namun kelas ekonomi pun boleh duduk disini), restaurant&lounge, kursi malas di deck kapal, dan area bermain anak-anak.
Alhamdulillah cuaca hari itu cukup cerah, jadi perjalanan bisa ditempuh kurang lebih 4 jam saja. Pukul 11 siang kami merapat di pelabuhan Lembar, Lombok. Welcoming us, Lombok! Menurut banyak referensi blog yang saya baca, di pelabuhan Lembar banyak sekali calo-calo yang menawarkan transportasi menuju tempat tujuan. Mungkin kalau bepergian rame-rame bisa saja menggunakan moda transportasi itu, jatuhnya murah karena hitungannya patungan kan... Tapi kami yang hanya berdua saja, meneguhkan hati untuk naik angkutan umum saja meskipun agak repot. Hidup hemat!
Jadi kami berjalan sedikit (sekitar 300 m) dari pelabuhan menuju pertigaan. Starting point to get lost! Haha... Kami naik engkel (sejenis angkot, dengan tipe mobil elf) menuju Cakranegara. Menurut pengamatan saya, logat masyarakat Lombok hampir sama dengan logat masyarakat Bali. Akhiran "a" dibaca "e" (correct me if I'm wrong). Misalnya "Cakra" dibaca "Cakre" seperti melafalkan "Kuta" menjadi "Kute". Cukup dengan ongkos 15.000 saja, saya akhirnya diturunkan di pertigaan Cakra.
Dengan bekal bertanya pada sang supir, saya menanyakan angkot apa yang bisa membawa saya ke Pantai Senggigi, Sang supir pun dengan baik hati memberitahu saya rute dan harga angkotnya. Great, Thank you pak supir. Kami selanjutnya naik bemo (sebutan untuk angkot) berwarna kuning menuju Ampenan seharga 5.000 rupiah. Setelah itu, kami sambung lagi dengan menaiki bemo kotak menuju Senggigi.
Lagi-lagi, berbekal beberapa referensi dari blog para backpacker, akhirnya saya memutuskan untuk menginap semalam di Senggigi, tepatnya di Sonya Homestay dengan rate 100.000 per kamar per malam (termasuk sarapan). Tidak sulit untuk menemukan homestay ini karena memang letaknya di pinggir jalan dan dekat dengan pasar seni (Art Market) di Senggigi.
(Bersambung)
Emang kapan terakir kali nulis di blog?
Hmm kira-kira Desember 2012
Postingan yang mana?
Sekarang udah engga ada. Udah dihapus.
Kenapa kok dihapus?
Soalnya kebanyakan postingan yang lalu-lalu berisi puisi-puisi galau dan curahan hati yang "kurang penting" untuk dipublikasikan. Hehehe... Jadi sekarang inginnya menulis sesuatu yang mungkin bisa bermanfaat untuk orang lain.
Baiklah... postingan yang pertama di tahun 2014 ini, saya ingin berbagi pengalaman pertama saya backpacking ke Pulau Pedas.
Pulau Pedas itu dimana yaa?
Ide untuk melakukan perjalanan kesana sebenarnya adalah ide dari seorang rekan di kantor. Kebetulan, kantor saya akan mengadakan acara di Bali. Acara sebenarnya selesai hari Kamis, nah kami boleh extend sampai hari Ahad dengan syarat akomodasi hanya ditanggung kantor sampai hari Jumat saja. Beberapa teman mengajak serta keluarganya ikut ke Bali. Nah, saya yang (takdirnya) masih single (#ehh #kode) merasa terpinggirkan. Hehehe, nggak deng... Saya mikir, ah males juga kalo hari Jumat langsung balik ke Manokwari, mending habiskan saja jatah liburannya sampai Ahad. Kawan saya memberi suggest "kenapa nggak sekalian nyebrang aja ke Lombok?"
Brilliant!
Habis itu, langsung saya cari tiket promo Denpasar-Lombok dan googling pengalaman para backpacker ke Lombok. Kebanyakan mereka sharing perjalanan ke Lombok via darat (Ketapang-Gilimanuk-Padang Bai-Lembar). Waaah... saya pun akhirnya tergoda untuk mencoba merasakan traveling dengan kapal ferry. Akhirnya, setelah menimbang-nimbang baik buruknya, dengan mengucap Bismillahirrohmanirrohim, kami (saya dan mbak Anis) memutuskan untuk extend 3 hari di Lombok. Cihuy!
Sebelum bepergian, sebagai anak perempuan kesayangan di perantauan yang jauh dari orang tua (kesiaaaan....), saya meminta izin dan restu dari ayahanda dan ibunda untuk pergi ke Lombok setelah menyelesaikan acara kantor di Bali.
"Aduuuh.... kamu perginya jauh banget ke Lombok (padahal Manokwari kan jelas lebih jauh dari Lombok :p). Nanti kalo kamu disana kesasar gimana?"
"Tenang aja, Bu... Udah banyak referensi nih dari internet" (padahal sih ketar ketir juga, takut kesasar)
"Kamu pergi-pergi gitu nggak ada mahromnya lho, nak"
(Jleb) "Iya Bu, makanya mohon doanya supaya segera ada yang nemenin kalo traveling" *sungkem sama Ibu :D
***
Kuta, di suatu subuh di bulan Maret akhirnya kami check out dari hotel. Hanya beberapa orang rekan kantor saja yang tahu tentang rencana saya dan mbak Anis melanjutkan perjalanan ke Lombok ini. Perjalanan dari hotel menuju Pelabuhan penyebrangan Padang Bai di Karangasem, Bali ditempuh sekitar 1 jam dari Denpasar dengan taksi. Sengaja kami berangkat subuh hari karena untuk menghindari macet dan inginnya sampai di Lombok lebih awal.
Pintu gerbang pelabuhan penyebrangan Padang Bai |
Kapal Ferry yang akan membawa kami menuju Lombok |
Tiket dengan kapal ferry dari Padang Bai, Bali menuju Lembar, Lombok seharga 40.000 rupiah ditempuh kurang lebih selama 4 jam. Kapal ferry-nya cukup nyaman dan terkesan mewah untuk ukuran tiket seharga tersebut. Fasilitas yang disediakan cukup lengkap, ada ruang tunggu VIP (namanya saja VIP, namun kelas ekonomi pun boleh duduk disini), restaurant&lounge, kursi malas di deck kapal, dan area bermain anak-anak.
Cukup "mewah" untuk ukuran tiket seharga 40 ribu rupiah |
Alhamdulillah cuaca hari itu cukup cerah, jadi perjalanan bisa ditempuh kurang lebih 4 jam saja. Pukul 11 siang kami merapat di pelabuhan Lembar, Lombok. Welcoming us, Lombok! Menurut banyak referensi blog yang saya baca, di pelabuhan Lembar banyak sekali calo-calo yang menawarkan transportasi menuju tempat tujuan. Mungkin kalau bepergian rame-rame bisa saja menggunakan moda transportasi itu, jatuhnya murah karena hitungannya patungan kan... Tapi kami yang hanya berdua saja, meneguhkan hati untuk naik angkutan umum saja meskipun agak repot. Hidup hemat!
Sudah sampai Lombok! Alhamdulillah... |
Jadi kami berjalan sedikit (sekitar 300 m) dari pelabuhan menuju pertigaan. Starting point to get lost! Haha... Kami naik engkel (sejenis angkot, dengan tipe mobil elf) menuju Cakranegara. Menurut pengamatan saya, logat masyarakat Lombok hampir sama dengan logat masyarakat Bali. Akhiran "a" dibaca "e" (correct me if I'm wrong). Misalnya "Cakra" dibaca "Cakre" seperti melafalkan "Kuta" menjadi "Kute". Cukup dengan ongkos 15.000 saja, saya akhirnya diturunkan di pertigaan Cakra.
Dengan bekal bertanya pada sang supir, saya menanyakan angkot apa yang bisa membawa saya ke Pantai Senggigi, Sang supir pun dengan baik hati memberitahu saya rute dan harga angkotnya. Great, Thank you pak supir. Kami selanjutnya naik bemo (sebutan untuk angkot) berwarna kuning menuju Ampenan seharga 5.000 rupiah. Setelah itu, kami sambung lagi dengan menaiki bemo kotak menuju Senggigi.
Lagi-lagi, berbekal beberapa referensi dari blog para backpacker, akhirnya saya memutuskan untuk menginap semalam di Senggigi, tepatnya di Sonya Homestay dengan rate 100.000 per kamar per malam (termasuk sarapan). Tidak sulit untuk menemukan homestay ini karena memang letaknya di pinggir jalan dan dekat dengan pasar seni (Art Market) di Senggigi.
Sonya Homestay |
(Bersambung)